Sabtu, 03 November 2012

perang bayu dan implikasinya terhadap kebudayaan


Latar Belakang Terjadinya Perang
Pada tahun 1743 terjadi perjanjian secara sepihak antara Paku Buwana dengan Gubernur Jendral Van Imhoff di Surakarta yang berisi Paku Buwana menyerahkan kekuasaan yang berada antara Pasuruan sampai Banyuwangi, yakni sebelah timur dari pulau Jawa. Meskipun Belanda menyadari bahwa mataram tidaklah berkuasa secara penuh terhadap negeri tersebut. Dengan adanya perjanjian tersebut, wilayah Blambangan menjadi wilayah otonomi Belanda. Sementara di Blambangan, Mengwi telah mengambil alih kekuasaan dengan menempatkan Gusti Kuta Beda dan Gusti Ketut Kabakaba sebagai penguasa.
Orang Inggris yang berada di Ulupampang (termasuk dalam wilayah Blambangan) untuk berdagang mengadakan kerjasama dengan penguasa setempat yang pada waktu itu di pegang oleh Mengwi, dengan konsesi memberikan ijin kepada pihak Inggris untuk mendirikan kantor dagang. Ulupampang menjadi daerah perdagangan yang sibuk. Agresifitas perdagangan Inggris di Blambangan akhirnya mencemaskan VOC, ditambah keamanan yang kacau di jalur tepi laut Jawa yang menjadi jalan utama perdagangan VOC, mendorong Johanes Vos, gubernur VOC di Semarang mengeluarkan perintah tanggal 12 Agustus 1766 agar mengadakan patroli di Selat Bali dan sekitarnya. Pemerintah Belanda di Batavia memutuskan untuk menangkapi kapal-kapal Inggris dan elemen-elemen lain yang tidak disukai serta mengambil tindakan-tindakan pengamanan terhadap batas-batas wilayah yang dianggap miliknya.
Keadaan di Blambangan yang genting tak terkendalikan menjadikan VOC mengirimkan ekspedisi militer besar-besaran di bawah pimpinan Erdwijn Blanke terdiri atas 335 serdadu Eropa, 3000 laskar Madura dan Pasuruhan, 25 kapal besar dan sejumlah yang kecil lainnya. Tanggal 20 Pebruari 1767, ekspedisi Belanda berkumpul di pelabuhan Kuanyar Madura. Pada tanggal 27 Pebruari 1767 Panarukan diduduki dan didirikan benteng. Pada tanggal 11 Maret pasukan inti di bawah komandan dari Semarang Erdwijn Blanke bergerak melalui darat sepanjang pantai. Tanggal 23 Maret 1767 ekspedisi Belanda tiba di Banyualit. Pertempuran meletus. Ratusan laskar Blambangan pimpinan Gusti Kuta Beda terbunuh. VOC menguasai benteng di Banyualit. Selat Bali mulai dari Meneng sampai Grajagan diblokir.
Mas Anom dan Mas Weka memperoleh kesempatan memberontak terhadap penguasa Bali Gusti Ketut Kabakaba dan Gusti Kuta Beda. Mas Anom memberontak karena pemimpin Bali tersebut menjalankan kekuasaan di Blambangan secara tidak simpatik dan menimbulkan rasa benci rakyat. Orang-orang Bali dibantu orang-orang Bugis dan Mandar melakukan penyerangan terhadap orang-orang Blambangan di bawah pimpinan Mas Anom dan Mas Weka di Logenta yang berakhir dengan kemenangan Mas Anom. Kuta Beda ditawan dan dibunuh. Ketut Kabakaba melarikan diri ke Ulupampang. Ia beserta keluarga dan pengikutnya yang terdesak, melakukan puputan dan akhirnya Kutha Bedhah beserta semua pengikutnya terbunuh. Mas Anom dan Mas Weka diangkat menjadi regen (bupati) pertama di Blambangan. Namun tidak berapa lama ia membelot dan mendukung perjuangan Wong Agung Wilis. Wong Agung Wilis terlibat peperangan di Ulupampang, benteng VOC di Banyualit, namun akhirnya ia kalah di Kuta Lateng pada tanggal 18 Mei 1768.
Setelah Blambangan dikuasai, VOC mengangkat Suta Nagara dengan patih Sura Teruna dan Wangsengsari dengan patih Jaksanegara sebagai regen. Untuk memutuskan hubungan dengan Bali, bupati “dwitunggal” itu diajak memeluk agama Islam. Taktik VOC soal agama ini tidak berpengaruh apa-apa terhadap orang Blambangan. Mereka tidak menaruh perhatian agama apa yang dipeluk pemimpin. Yang mereka inginkan hanya hidup merdeka tanpa dirampas oleh orang-orang asing. Mereka memang anti Jawa, ingatan tentang pengrusakan atas negeri mereka, atas kekejaman yang diperlakukan atas mereka dan atas pengiriman-pengiriman orang-orang Blamba-ngan oleh raja-raja Jawa, masih dalam ingatan mereka yang membeku menjadi rasa benci. Sikap ini di kemudian hari terbukti saat orang-orang Blambangan menolak keras pengangkatan Kertawijaya, patih Surabaya menjadi bupati Blambangan.
Mayor Colmond menggantikan Coop a Groen, sebagai komandan tertinggi pasukan VOC Belanda di Blambangan. Ia adalah sosok penjajah yang berwatak keras. Tindakan-tindakannya yang keras terhadap penduduk menyebabkan kesengsaraan di mana-mana. Keadaan tambah parah ketika penetrasi VOC semakin berat, misalnya setiap bekel (lurah) harus menyerahkan dua ekor kerbau. Selain itu VOC menuntut 3,5 gulden kepada setiap kepala keluarga, dan harus diserahkan setiap tahun. Sesuatu yang sangat berat di tengah sedikitnya waktu untuk pergi ke sawah dan ladang karena kewajiban kerja paksa tanpa upah dan makan.
Tindakan Belanda tersebut menyebabkan munculnya kebencian di mana-mana. Rakyat dalam keadaan sengsara dan kekurangan. Belanda melakukan segala hal untuk tindakan penjajahannya baik secara ekonomi, sosial maupun politik. Termasuk tindakan yang diambil kepada Suta Negara dan Wangsengsari dan Sura Teruna.
Kedudukan Belanda yang kuat, kemudian membentuk pemerintahan baru di Blambangan dengan bupati Jaksanegara bekas patihnya Wangsengsari, satu-satunya orang yang masih setia kepada Kompeni. Tetapi pengangkatan Jaksanegara ini tidak disukai oleh Gubernur Vos yang menginginkan bupati di Blambangan harus orang yang cakap dan berpengalaman. Blambangan yang merupakan daerah konflik, memerlukan bupati yang mampu mengendalikan rakyat. Maka ditunjuklah Kertawijaya dari Surabaya sebagai bupati di Blambangan.. Namun tidak lama kemudian pergolakan muncul, karena rakyat Blambangan bersikap keras untuk tidak menerima seorang Jawa sebagai bupatinya. Setelah kejadian itu Jaksanegara tetap menjadi bupati tunggal di Blambangan. Ternyata pengangkatan Jaksanegara inipun tidak memuaskan rakyat. Rakyat tidak menyukai pemimpin yang takluk kepada Kompeni. Rakyat menuntut agar Suta Nagara yang dibuang dipulangkan kembali.
Penetrasi VOC yang sedemikian keras mengakibatkan rakyat memilih untuk menyingkir ke hutan. Tempat yang paling banyak menampung pengungsian itu adalah dusun Bayu. Sebuah tempat yang subur di lereng Gunung Raung sebelah barat Songgon dan Derwana. Di Bayu berkumpul para penentang Belanda di bawah pimpinan Mas Rempek yang didukung oleh para guru atau ajar yaitu Bapa Rapa, Bapa Endha dan Bapa Larat. Rakyat yang miskin yang tak punya harapan-harapan lagi, bersatu dalam tekad yang besar melawan Belanda.
Jalannya perang
Pada tanggal 2 Agustus 1771, Kertawijaya dan Jaksanegara berangkat bersama serombongan pasukan dari Ulupampang menuju Bayu. Kepergian mereka bermaksud memisahkan penduduk Blambangan dari pengaruh Mas Rempek. Setibanya di Bayu orang-orang Blambangan pengikut kedua pemimpin itu justeru membelot dan memihak kepada Pangeran Jagapati. Kedua pemimpin ditinggal pengikutnya dan hanya ditemani beberapa orang yang berasal dari Surabaya, yaitu Mindoko, Bawalaksana dan Semedirono. Kemudian para pembelot mengamuk terhadap para Tumenggung dan pengikutnya yang tinggal beberapa itu. Kertawijaya terluka tembak di bahu kirinya dan kaki kanannya terkena tombak. Mantri Semedirono mati tertembak di kepalanya, yang lainnya terluka. Sementara rakyat Blambangan terus bergerak ke Bayu sambil membawa harta benda yang mereka miliki.
Tanggal 5 Agustus 1771, VOC mengirim pasukan bersenjata menuju ke benteng Bayu. Di luar dugaan VOC pada waktu terjadi pertempuran awal, terdapat sebagian prajurit VOC dari pribumi membelot memihak kepada Pangeran Jagapati. Biesheuvel Residen Blambangan beserta pasukan VOC bergerak menyerang Benteng Bayu. Namun, mereka dikalahkan Pangeran Jagapati karena pertahanan benteng Bayu yang ternyata sangat kuat. Pada waktu yang bersamaan, Schophoff, Wakil Residen Biuscheuvel masuk ke berbagai desa di Blambangan, bermaksud mempengaruhi penduduk untuk tidak memihak Pangeran Jagapati. Pada hari yang sama pasukan VOC menyerang Gambiran, sebuah dusun penghasil beras yang sangat subur yang menjadi salah satu penyangga logistik beras benteng Bayu. Tujuannya agar Pangeran Jagapati yang berkedudukan di Bayu kekurangan bahan makanan. Namun, ketika ia beserta pasukannya berada di Desa Gambiran, mereka diserang oleh sekitar 200 pasukan Blambangan sambil meneriakkan kata-kata: “Amok! Amok!”. Pasukan VOC kemudian menuju Tomogoro yang terletak sekitar 6 km di sebelah tenggara Bayu merupakan penghasil beras yang paling dekat dengan Bayu dan Tomogoro merupakan tempat yang sangat penting bagi Pangeran Jagapati. Selain itu Tomogoro juga menjadi tempat menimbun semua persediaan yang diperlukan sebelum diangkut ke Bayu.
Melihat posisi Tomogoro yang strategis, VOC mendirikan kubu pertahanan dengan maksud untuk memudahkan penyerangan ke Bayu. Rakyat Blambangan yang mengetahui aktivitas VOC berusaha menghindarinya serta membawa semua perbekalan ke Bayu bergabung dengan Pangeran Jagapati. Sementara di sepanjang jalan menuju Bayu yang menanjak dan licin, Pangeran Jagapati memerintahkan pejuang Bayu untuk menebangi pohon agar menutup jalan sehingga tidak bisa dilewati. Pasukan VOC yang sudah kelelahan dalam menempuh perjalanan yang sulit dan kehabisan perbekalan terpaksa mengehentikan penyerangan dan mundur ke Ulupampang. Keadaan yang mengkhawatirkan memaksa Biesheuvel minta dikirim 300 pasukan pribumi dari Jawa Timur dan satu pasukan tentara Eropa berkekuatan 40 prajurit.
Di Bayu Pangeran Jagapati membicarakan tentang pasukan-pasukan Kompeni yang terpaksa berhenti di tengah jalan, mundur ke Ulupampang. Kemudian Pangeran Jagapati menyusun strategi perang dengan membagi pasukan menjadi dua sayap. Sayap kiri yang terdiri dari 3.000 orang diserahkan kepada Keboundha, sayap kanan dipercayakan kepada Kidangsalendhit. Kedua pemimpin pasukan ini ingin membalas kekalahan yang telah dialami di Gegenting (Gambiran dan Tomogoro).
Pada tanggal 22 September 1771 malam pukul 20.00 WIB, Biesheuvel Residen Blambangan menerima laporan dari Sersan Rood yang membawa berita dari Letnan Imhoff komandan VOC di Kuta Lateng yang menyatakan bahwa pagi hari, 22 September 1771, kereta VOC telah mulai bergerak maju dalam medan perang yang memuat berbagai keperluan untuk menyerang Bayu. Misi pasukan VOC itu adalah mengusir pejuang Blambangan dan memusnahkan semua yang ada. Pasukan VOC telah masuk dalam kubu pertahanan bagian luar pejuang Bayu dengan pasukan pribumi di depan, sehingga keselamatan pasukan orang Eropa VOC terjamin. Namun ternyata dukungan orang-orang prajurit pribumi tidak dapat diharapkan. VOC menambah pasukan Eropa untuk melindungi penyerangan. Yang terjadi malah pasukan pribumi VOC mengelompokkan dirinya menjadi 2 kelompok. Satu pihak berdiri di sebelah kiri pasukan VOC, sedang kelompok satunya lagi di sebelah kanan. Tiba-tiba mereka berlari-lari bersamaan masuk ke dalam hutan dan menghilang. Pimpinan pasukan VOC memanggil-manggil dan mengancam pasukannya yang masuk ke hutan itu namun tak dihiraukannya. Dengan begitu pasukan VOC ditinggal begitu saja oleh pasukan pribumi. Akibat larinya pasukan pribumi, maka serdadu VOC asal Eropa saja yang terlibat perang dalam 3 jam terus menerus. Sampai-sampai semua peluru, termasuk persediaan yang terakhir dikeluarkan dari peti penyimpanannya untuk dibagikan. Juga amunisi untuk senjata berat, semuanya telah terpakai habis untuk menembak. Banyak serdadu Eropa yang tewas dan terluka. Diantaranya yang terluka adalah Letnan Imhoff setelah 2 jam dihujani tembakan terus menerus oleh pejuang Blambangan dari tempat persembunyiannya. VOC terpaksa meninggalkan semua perlengkapannya termasuk sebuah kanon berukuran satu pon dan dua buah mortir. Tukang pikul perbekalan semua mati.
Hari itu juga, 22 September 1771 dilakukan penghitungan berapa sisa pasukan VOC asal pribumi. Oleh para pemimpinnya dilaporkan bahwa 13 orang tewas yang terdiri dari 5 komandan dan 8 tamtama, 94 orang terluka tembakan kena duri karena tatkala mundur mereka tergesa-gesa. Sisanya 87 orang luka kena sungga (ranjau/sunggrak). Datang kapal dari Pasuruan dengan mengangkut beras.
Setelah beberapa penyerbuan VOC ke Bayu gagal memadamkan pemberontakan dan bahkan sering menderita kekalahan dengan kematian sebagian besar pasukan dan terlukanya komandan penyerbuan, VOC lantas berupaya mengisolasi Bayu dan memutus jalur-jalur logistik berikut membakar gudang-gudang makanan dan memusnahkan tanaman-tanaman pangan, seperti di Gambiran, Songgon, Temuguruh, dan Grajagan. Selain mencegat kereta-kereta kuda yang akan memasok logistik ke Bayu, VOC juga berupaya mendapatkan berbagai rincian informasi tentang kondisi Bayu yang misterius, dengan menculik beberapa pengikut Rempeg. Si Lakar, seorang dayun (pelayan setia) Rempeg yang diculik di rumah pembesar Blambangan, mantri Singadirana, mengalami proses interogasi yang dramatik. Setelah berulangkali teguh memberikan keterangan palsu mengenai rincian kondisi Bayu meski di bawah siksaan tubuh yang keji, Lakar akhirnya harus menyerah ketika ia diinterogasi dengan keadaan telanjang terikat di sepokok pohon dan diserbu ribuan semut merah besar.
Si Lakar merupakan salah satu potret ketangguhan para pejuang Bayu, (orang-orang Blambangan dibantu orang-orang Bugis, Mandar, Bali dan Cina) dalam melakukan perlawanan terhadap VOC meski, bersamaan itu, deraan kelaparan yang mematikan menghajar mereka juga. Di lain pihak VOC harus merogoh kas keuangan lebih dalam untuk menanggung beban  perang disamping harus kehilangan para serdadunya, baik serdadu pribumi maupun Eropa, dalam jumlah besar. VOC pun harus rela kehilangan beberapa perwiranya dalam perang. Bahkan pada bulan November 1771 serbuan para pemberontak Bayu ke pelabuhan Ulupampang telah menyebabkan hal apa yang tak pernah terjadi pada perang-perang VOC di Jawa sebelumnya, yaitu tewasnya asisten resident, Biesheuvel (lihat Putu Praba Darana, Menguak Kabut Kelam Bumi Blambangan, makalah Seminar Sejarah Blambangan, 9 – 10 November 1993 di Banyuwangi. 18 Desember 1771 pertempuran berkobar di Songgon dan Susukan mengakibatkan kekalahan pasukan VOC dan terbunuhnya letnan Reigers. Namun pertempuran paling brutal belum benar terjadi. Pada serangan pasukan VOC kedua di bulan yang sama, penyergapan mendadak yang dilakukan para pejuang Bayu bersamaan dengan deras hujan menyebabkan pasukan VOC yang dikomandani Vaandrig Schaar menderita kekalahan parah. Para pemberontak dengan bersenjatakan bambu runcing dan tombak yang menyerbu mendadak dan bersamaan ke arah pasukan VOC membuat kalang kabut para seradadu yang harus melindungi senjatanya dari air hujan. 100 orang pasukan Madura gugur pada pertempuran itu, Vaandrig Schaar dan Cornet Tinne terbunuh. Menurut Wikkerman (kelak menjadi resident Banyuwangi) yang selamat dari pertempuran itu, tubuh Vaandrig Schaar diseret menuju markas pemberontak. Sesampai di markas, perut Vaandrig Schaar diburai dan diganyang isinya. Sementara kepalanya dipancang di ujung tombak dan dikelilingkan menjaya-jaya.
Setelah Puputan Bayu, wilayah Blambangan (Banyuwangi) menjadi lengang. Disamping amuk kematian yang disebabkan oleh serangan VOC, juga kelaparan, wabah penyakit, dan migrasi besar-besaran orang Blambangan ke luar daerah merupakan faktor berkurangnya jumlah penduduk Blambangan. Akhir tahun 1772 penduduk Blambangan tinggal 3.000 jiwa atau 8,3% dari jumlah penduduk yang ada sebelum pendudukan Belanda. (S. Margana, The “Puputan Bayu”: War, Disease, and Demographic Catastrophe in Blambangan, 1771 – 1773, paper Tanap workshop 2003, Xiamen).
Sesungguhnya berakhirnya perang Bayu yang kemudia disusul dengan jatuhnya pemerintahan Blambangan ke tangan VOC secara “mutlak” tak berarti perlawanan wong-wong Blambangan usai. Perlawanan terhadap VOC masih terus berlangsung secara sporadis dan terpecah-pecah. Bahkan para petanipun melakukan pembangkangan masal sehingga lahan-lahan persawahan terbengkalai. Jumlah penduduk yang menurun drastis dan ketaksudian rakyat Blambangan untuk bekerja sama, membuat VOC sangat kekurangan tenaga kerja untuk menggarap wilayah Blambangan menjadi daerah produktif. Persoalan kurangnya tenaga kerja ini memaksa pemerintahan VOC untuk mendatangkan orang-orang Jawa (mataraman) dan Madura ke Blambangan. Terlebih VOC harus membangun ibu kota baru di Banyuwangi. Namun, gelombang pertama kedatangan tenaga kerja dari wilayah mataraman dan Madura mendapat gangguan dari rakyat Blambangan sehingga mereka terpaksa harus kembali ke daerah asal. Sulitnya VOC mendatangkan tenaga kerja dari wilayah lain karena gangguan rakyat Blambangan tersebut membuat VOC harus merayu para calon tenaga kerja “migran” dengan iming-iming imbalan uang.

Dampak dari Peperangan
Raffles, dalam History of Java yang terkenal,  menyatakan bahwa Banyuwangi yang pada tahun 1750 dihuni lebih dari 80.000 jiwa, pada tahun 1881 diketahui berkurang sampai hanya tersisa 8.000 jiwa. Meski pernyataan Raffles di atas banyak mendapatkan tentangan dikemudian hari. De Jong menyatakan pernyataan Raffles tersebut hanyalah berdasarkan cerita dari mulut ke mulut. Sedangkan I Made Sudjana, dalam Nagari Tawon Madu, menyatakan perkiraan Raffles tersebut terlalu subjektif dan meletakan semua kesalahan terhadap VOC. Berkurangnya penduduk Banyuwangi bukan hanya disebabkan oleh senjata VOC, namun pembakaran gudang-gudang makanan dan pemusnahan tanaman-tanaman pangan yang dilakukan oleh VOC untuk melumpuhkan persediaan logistik para pemberontak di Bayu, telah menyebabkan kelaparan hebat dan meluasnya wabah penyakit dalam masyarakat Banyuwangi sesudah perang Bayu.
Implikasi Terhadap Kebudayaan
Berakhirnya perang bayu membawa dampak yang sangat besar terhadap kehidupan masyarakat. Selain yang telah dijelaskan di atas tentang berkurangnya penduduk, juga berimplikasi terhadap kebudayaan. Banyak kebudayaan timbul sebagai refleksi dari adanya peperangan tersebut. Seperti perang bayu yang dijadikan sebuah tarian, Latar belakang tarian ini adalah sebuah ceritera perjuangan seorang wanita bernama Sayuwiwit yang berperang melawan Belanda (VOC).Sayuwiwit mengorganisir para pemudi di zamannya dalam sebuah pasukan wanita yangdisegani kawan maupun lawan.Pasukan wanita yang dipimpin oleh srikandi Sayuwiwit ini yang melakukan perlawanan terhadap VOC dengan perang puputan.
Juga ada presentasi lain dari perang tersebut, Kenangan atas keberanian dan kepastian tragis peristiwa Bayu seolah diuapkan oleh perang Damarwulan – Minakjinggo. Kenyataan yang pada akhirnya harus menyerah pada kerajaan khayal. Aspek-aspek sosial yang melimpahkan inspirasi keteguhan, keberanian, sekaligus cermin pengkhianatan dan kepengecutan dipaksa harus menelan gambaran yang melulu hina-dina dengan riang gembira. Minakjinggo, tokoh rekaan yang buruk rupa dan berwatak angkara tumbuh meraksasa melampau dunia panggung senidrama dan mengeram dalam diri orang-orang Banyuwangi

Kesimpulan
Perang Bayu adalah perang yang membawa kerugian yang sangat besar baik yang bersifat  materiil maupun imateriil. Kerugian bukan hanya dialami oleh pihak  jagapati yang dalam hal ini merupakan pemimipin pemberontakan, namun juga dari pihak pemerintah kolonial.
Meski VOC dapat menguasai Blambangan, namun belum mampu menguasai masyarakat dengan keseluruhan. Masyarakat tidak mau bekerja untuk pemerintahan kolonial, sehingga pemerintahan kolonial kekurangan pekerja. Meski dalam tekanan dan penindasan dari pihak kolonial, masyarakat Blambangan mampu menghasilkan kebudayaan yang bernilai tinggi. Seperti, tari puputan bayu sebagai representasi dari perang bayu. Cerita Damarwulan-minak jingo sebagai perwujudan dari kekecewaan masyarakat terhadap pemimpin yang dianggap jadi penjilad kepada penguasa VOC.












 Sumber Rujukan
Arifin W, Partaningrat,1995, “Babad Blambangan”, yayasan Bentang Budaya, Yokyakarta
sastra.um.ac.id/.../Seblang-Using-Studi-Tentang-Ritus-dan-Identitas-...
digilib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak-20186691.pdf
uap.unnes.ac.id/.../konfik_politik_dalam_babad_bay_2102406616.d...
www.babadbali.com › Kahyangan JagadPura Besakih
Sri Margana, The “Puputan Bayu”: War, Disease, and Demographic Catastrophe in Blambangan, 1771 – 1773, paper Tanap workshop 2003, Xiamen.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar