Latar
Belakang
Terjadinya
Perang
Pada tahun 1743 terjadi perjanjian secara sepihak antara
Paku Buwana dengan Gubernur Jendral Van Imhoff di Surakarta yang berisi Paku
Buwana menyerahkan kekuasaan yang berada antara Pasuruan sampai Banyuwangi,
yakni sebelah timur dari pulau Jawa. Meskipun Belanda menyadari bahwa mataram
tidaklah berkuasa secara penuh terhadap negeri tersebut. Dengan adanya
perjanjian tersebut, wilayah Blambangan menjadi wilayah otonomi Belanda.
Sementara di Blambangan, Mengwi telah mengambil alih
kekuasaan dengan menempatkan Gusti Kuta Beda dan Gusti Ketut Kabakaba sebagai
penguasa.
Orang Inggris yang berada di Ulupampang (termasuk dalam
wilayah Blambangan) untuk berdagang mengadakan kerjasama dengan penguasa
setempat yang pada waktu itu di pegang oleh Mengwi, dengan konsesi memberikan
ijin kepada pihak Inggris untuk mendirikan kantor dagang. Ulupampang menjadi
daerah perdagangan yang sibuk. Agresifitas perdagangan Inggris di Blambangan
akhirnya mencemaskan VOC, ditambah keamanan yang kacau di jalur tepi laut Jawa
yang menjadi jalan utama perdagangan VOC, mendorong Johanes Vos, gubernur VOC
di Semarang mengeluarkan perintah tanggal 12 Agustus 1766 agar mengadakan
patroli di Selat Bali dan sekitarnya. Pemerintah Belanda di Batavia memutuskan
untuk menangkapi kapal-kapal Inggris dan elemen-elemen lain yang tidak disukai
serta mengambil tindakan-tindakan pengamanan terhadap batas-batas wilayah yang
dianggap miliknya.
Keadaan di Blambangan yang genting tak terkendalikan
menjadikan VOC mengirimkan ekspedisi militer besar-besaran di bawah pimpinan
Erdwijn Blanke terdiri atas 335 serdadu Eropa, 3000 laskar Madura dan
Pasuruhan, 25 kapal besar dan sejumlah yang kecil lainnya. Tanggal 20 Pebruari
1767, ekspedisi Belanda berkumpul di pelabuhan Kuanyar Madura. Pada tanggal 27
Pebruari 1767 Panarukan diduduki dan didirikan benteng. Pada tanggal 11 Maret
pasukan inti di bawah komandan dari Semarang Erdwijn Blanke bergerak melalui
darat sepanjang pantai. Tanggal 23 Maret 1767 ekspedisi Belanda tiba di
Banyualit. Pertempuran meletus. Ratusan laskar Blambangan pimpinan Gusti Kuta
Beda terbunuh. VOC menguasai benteng di Banyualit. Selat Bali mulai dari Meneng
sampai Grajagan diblokir.
Mas Anom dan Mas Weka memperoleh kesempatan memberontak
terhadap penguasa Bali Gusti Ketut Kabakaba dan Gusti Kuta Beda. Mas Anom
memberontak karena pemimpin Bali tersebut menjalankan kekuasaan di Blambangan
secara tidak simpatik dan menimbulkan rasa benci rakyat. Orang-orang Bali
dibantu orang-orang Bugis dan Mandar melakukan penyerangan terhadap orang-orang
Blambangan di bawah pimpinan Mas Anom dan Mas Weka di Logenta yang berakhir
dengan kemenangan Mas Anom. Kuta Beda ditawan dan dibunuh. Ketut Kabakaba
melarikan diri ke Ulupampang. Ia beserta keluarga dan pengikutnya yang
terdesak, melakukan puputan dan akhirnya Kutha Bedhah beserta semua pengikutnya
terbunuh. Mas Anom dan Mas Weka diangkat menjadi regen (bupati) pertama di
Blambangan. Namun tidak berapa lama ia membelot dan mendukung perjuangan Wong
Agung Wilis. Wong Agung Wilis terlibat peperangan di Ulupampang, benteng VOC di
Banyualit, namun akhirnya ia kalah di Kuta Lateng pada tanggal 18 Mei 1768.
Setelah Blambangan dikuasai, VOC mengangkat Suta Nagara
dengan patih Sura Teruna dan Wangsengsari dengan patih Jaksanegara sebagai
regen. Untuk memutuskan hubungan dengan Bali, bupati “dwitunggal” itu diajak
memeluk agama Islam. Taktik VOC soal agama ini tidak berpengaruh apa-apa
terhadap orang Blambangan. Mereka tidak menaruh perhatian agama apa yang
dipeluk pemimpin. Yang mereka inginkan hanya hidup merdeka tanpa dirampas oleh
orang-orang asing. Mereka memang anti Jawa, ingatan tentang pengrusakan atas
negeri mereka, atas kekejaman yang diperlakukan atas mereka dan atas
pengiriman-pengiriman orang-orang Blamba-ngan oleh raja-raja Jawa, masih dalam
ingatan mereka yang membeku menjadi rasa benci. Sikap
ini di kemudian hari terbukti saat orang-orang Blambangan menolak keras
pengangkatan Kertawijaya, patih Surabaya menjadi bupati Blambangan.
Mayor Colmond menggantikan Coop a Groen, sebagai komandan
tertinggi pasukan VOC Belanda di Blambangan. Ia adalah sosok penjajah yang
berwatak keras. Tindakan-tindakannya yang keras terhadap penduduk menyebabkan
kesengsaraan di mana-mana. Keadaan tambah parah ketika penetrasi VOC semakin
berat, misalnya setiap bekel (lurah) harus menyerahkan dua ekor kerbau. Selain
itu VOC menuntut 3,5 gulden kepada setiap kepala keluarga, dan harus diserahkan
setiap tahun. Sesuatu yang sangat berat di tengah sedikitnya waktu untuk pergi
ke sawah dan ladang karena kewajiban kerja paksa tanpa upah dan makan.
Tindakan Belanda tersebut menyebabkan munculnya kebencian di
mana-mana. Rakyat dalam keadaan sengsara dan kekurangan. Belanda melakukan
segala hal untuk tindakan penjajahannya baik secara ekonomi, sosial maupun
politik. Termasuk tindakan yang diambil kepada Suta Negara dan Wangsengsari dan
Sura Teruna.
Kedudukan Belanda yang kuat, kemudian membentuk pemerintahan
baru di Blambangan dengan bupati Jaksanegara bekas patihnya Wangsengsari,
satu-satunya orang yang masih setia kepada Kompeni. Tetapi pengangkatan
Jaksanegara ini tidak disukai oleh Gubernur Vos yang menginginkan bupati di
Blambangan harus orang yang cakap dan berpengalaman. Blambangan yang merupakan
daerah konflik, memerlukan bupati yang mampu mengendalikan rakyat. Maka
ditunjuklah Kertawijaya dari Surabaya sebagai bupati di Blambangan.. Namun
tidak lama kemudian pergolakan muncul, karena rakyat Blambangan bersikap keras
untuk tidak menerima seorang Jawa sebagai bupatinya. Setelah kejadian itu
Jaksanegara tetap menjadi bupati tunggal di Blambangan. Ternyata pengangkatan
Jaksanegara inipun tidak memuaskan rakyat. Rakyat tidak menyukai pemimpin yang
takluk kepada Kompeni. Rakyat menuntut agar Suta Nagara yang dibuang
dipulangkan kembali.
Penetrasi VOC yang sedemikian keras mengakibatkan rakyat memilih
untuk menyingkir ke hutan. Tempat yang paling banyak menampung pengungsian itu
adalah dusun Bayu. Sebuah tempat yang subur di lereng Gunung Raung sebelah
barat Songgon dan Derwana. Di Bayu berkumpul para penentang Belanda di bawah
pimpinan Mas Rempek yang didukung oleh para guru atau ajar yaitu Bapa Rapa,
Bapa Endha dan Bapa Larat. Rakyat yang miskin yang tak punya harapan-harapan
lagi, bersatu dalam tekad yang besar melawan Belanda.
Jalannya perang
Pada tanggal 2 Agustus 1771, Kertawijaya dan Jaksanegara
berangkat bersama serombongan pasukan dari Ulupampang menuju Bayu. Kepergian
mereka bermaksud memisahkan penduduk Blambangan dari pengaruh Mas Rempek.
Setibanya di Bayu orang-orang Blambangan pengikut kedua pemimpin itu justeru
membelot dan memihak kepada Pangeran Jagapati. Kedua pemimpin ditinggal
pengikutnya dan hanya ditemani beberapa orang yang berasal dari Surabaya, yaitu
Mindoko, Bawalaksana dan Semedirono. Kemudian para pembelot mengamuk terhadap
para Tumenggung dan pengikutnya yang tinggal beberapa itu. Kertawijaya terluka
tembak di bahu kirinya dan kaki kanannya terkena tombak. Mantri Semedirono mati
tertembak di kepalanya, yang lainnya terluka. Sementara rakyat Blambangan terus
bergerak ke Bayu sambil membawa harta benda yang mereka miliki.
Tanggal 5 Agustus 1771, VOC mengirim pasukan bersenjata
menuju ke benteng Bayu. Di luar dugaan VOC pada waktu terjadi pertempuran awal,
terdapat sebagian prajurit VOC dari pribumi membelot memihak kepada Pangeran
Jagapati. Biesheuvel Residen Blambangan beserta pasukan VOC bergerak menyerang
Benteng Bayu. Namun, mereka dikalahkan Pangeran Jagapati karena pertahanan
benteng Bayu yang ternyata sangat kuat. Pada waktu yang bersamaan, Schophoff,
Wakil Residen Biuscheuvel masuk ke berbagai desa di Blambangan, bermaksud
mempengaruhi penduduk untuk tidak memihak Pangeran Jagapati. Pada hari yang
sama pasukan VOC menyerang Gambiran, sebuah dusun penghasil beras yang sangat
subur yang menjadi salah satu penyangga logistik beras benteng Bayu. Tujuannya
agar Pangeran Jagapati yang berkedudukan di Bayu kekurangan bahan makanan.
Namun, ketika ia beserta pasukannya berada di Desa Gambiran, mereka diserang
oleh sekitar 200 pasukan Blambangan sambil meneriakkan kata-kata: “Amok!
Amok!”. Pasukan VOC kemudian menuju Tomogoro yang terletak sekitar 6 km di
sebelah tenggara Bayu merupakan penghasil beras yang paling dekat dengan Bayu
dan Tomogoro merupakan tempat yang sangat penting bagi Pangeran Jagapati.
Selain itu Tomogoro juga menjadi tempat menimbun semua persediaan yang diperlukan
sebelum diangkut ke Bayu.
Melihat posisi Tomogoro yang strategis, VOC mendirikan kubu
pertahanan dengan maksud untuk memudahkan penyerangan ke Bayu. Rakyat
Blambangan yang mengetahui aktivitas VOC berusaha menghindarinya serta membawa
semua perbekalan ke Bayu bergabung dengan Pangeran Jagapati. Sementara di
sepanjang jalan menuju Bayu yang menanjak dan licin, Pangeran Jagapati
memerintahkan pejuang Bayu untuk menebangi pohon agar menutup jalan sehingga
tidak bisa dilewati. Pasukan VOC yang sudah kelelahan dalam menempuh perjalanan
yang sulit dan kehabisan perbekalan terpaksa mengehentikan penyerangan dan
mundur ke Ulupampang. Keadaan yang mengkhawatirkan
memaksa Biesheuvel minta dikirim 300 pasukan pribumi dari Jawa Timur dan satu
pasukan tentara Eropa berkekuatan 40 prajurit.
Di Bayu Pangeran Jagapati membicarakan tentang
pasukan-pasukan Kompeni yang terpaksa berhenti di tengah jalan, mundur ke
Ulupampang. Kemudian Pangeran Jagapati menyusun strategi perang dengan membagi
pasukan menjadi dua sayap. Sayap kiri yang terdiri dari 3.000 orang diserahkan
kepada Keboundha, sayap kanan dipercayakan kepada Kidangsalendhit. Kedua
pemimpin pasukan ini ingin membalas kekalahan yang telah dialami di Gegenting
(Gambiran dan Tomogoro).
Pada tanggal 22 September 1771 malam pukul 20.00 WIB,
Biesheuvel Residen Blambangan menerima laporan dari Sersan Rood yang membawa
berita dari Letnan Imhoff komandan VOC di Kuta Lateng yang menyatakan bahwa
pagi hari, 22 September 1771, kereta VOC telah mulai bergerak maju dalam medan
perang yang memuat berbagai keperluan untuk menyerang Bayu. Misi pasukan VOC
itu adalah mengusir pejuang Blambangan dan memusnahkan semua yang ada. Pasukan
VOC telah masuk dalam kubu pertahanan bagian luar pejuang Bayu dengan pasukan
pribumi di depan, sehingga keselamatan pasukan orang Eropa VOC terjamin. Namun
ternyata dukungan orang-orang prajurit pribumi tidak dapat diharapkan. VOC
menambah pasukan Eropa untuk melindungi penyerangan. Yang terjadi malah pasukan
pribumi VOC mengelompokkan dirinya menjadi 2 kelompok. Satu pihak berdiri di
sebelah kiri pasukan VOC, sedang kelompok satunya lagi di sebelah kanan.
Tiba-tiba mereka berlari-lari bersamaan masuk ke dalam hutan dan menghilang.
Pimpinan pasukan VOC memanggil-manggil dan mengancam pasukannya yang masuk ke
hutan itu namun tak dihiraukannya. Dengan begitu pasukan VOC ditinggal begitu
saja oleh pasukan pribumi. Akibat larinya pasukan pribumi, maka serdadu VOC
asal Eropa saja yang terlibat perang dalam 3 jam terus menerus. Sampai-sampai
semua peluru, termasuk persediaan yang terakhir dikeluarkan dari peti
penyimpanannya untuk dibagikan. Juga amunisi untuk senjata berat, semuanya
telah terpakai habis untuk menembak. Banyak serdadu Eropa yang tewas dan
terluka. Diantaranya yang terluka adalah Letnan Imhoff setelah 2 jam dihujani
tembakan terus menerus oleh pejuang Blambangan dari tempat persembunyiannya.
VOC terpaksa meninggalkan semua perlengkapannya termasuk sebuah kanon berukuran
satu pon dan dua buah mortir. Tukang pikul perbekalan
semua mati.
Hari itu juga, 22 September 1771 dilakukan penghitungan
berapa sisa pasukan VOC asal pribumi. Oleh para pemimpinnya dilaporkan bahwa 13
orang tewas yang terdiri dari 5 komandan dan 8 tamtama, 94 orang terluka
tembakan kena duri karena tatkala mundur mereka tergesa-gesa. Sisanya 87 orang
luka kena sungga (ranjau/sunggrak). Datang kapal dari Pasuruan dengan
mengangkut beras.
Setelah
beberapa penyerbuan VOC ke Bayu gagal memadamkan pemberontakan dan bahkan
sering menderita kekalahan dengan kematian sebagian besar pasukan dan
terlukanya komandan penyerbuan, VOC lantas berupaya mengisolasi Bayu dan
memutus jalur-jalur logistik berikut membakar gudang-gudang makanan dan
memusnahkan tanaman-tanaman pangan, seperti di Gambiran, Songgon, Temuguruh,
dan Grajagan. Selain mencegat kereta-kereta kuda yang akan memasok logistik ke
Bayu, VOC juga berupaya mendapatkan berbagai rincian informasi tentang kondisi
Bayu yang misterius, dengan menculik beberapa pengikut Rempeg. Si Lakar,
seorang dayun (pelayan setia) Rempeg yang diculik di rumah pembesar Blambangan,
mantri Singadirana, mengalami proses interogasi yang dramatik. Setelah
berulangkali teguh memberikan keterangan palsu mengenai rincian kondisi Bayu
meski di bawah siksaan tubuh yang keji, Lakar akhirnya harus menyerah ketika ia
diinterogasi dengan keadaan telanjang terikat di sepokok pohon dan diserbu
ribuan semut merah besar.
Si Lakar
merupakan salah satu potret ketangguhan para pejuang Bayu, (orang-orang
Blambangan dibantu orang-orang Bugis, Mandar, Bali dan Cina) dalam melakukan
perlawanan terhadap VOC meski, bersamaan itu, deraan kelaparan yang mematikan
menghajar mereka juga. Di lain pihak VOC harus merogoh kas keuangan lebih dalam
untuk menanggung beban perang disamping
harus kehilangan para serdadunya, baik serdadu pribumi maupun Eropa, dalam
jumlah besar. VOC pun harus rela kehilangan beberapa perwiranya dalam perang.
Bahkan pada bulan November 1771 serbuan para pemberontak Bayu ke pelabuhan
Ulupampang telah menyebabkan hal apa yang tak pernah terjadi pada perang-perang
VOC di Jawa sebelumnya, yaitu tewasnya asisten resident, Biesheuvel (lihat Putu
Praba Darana, Menguak Kabut Kelam Bumi Blambangan, makalah Seminar Sejarah
Blambangan, 9 – 10 November 1993 di Banyuwangi. 18 Desember 1771 pertempuran
berkobar di Songgon dan Susukan mengakibatkan kekalahan pasukan VOC dan
terbunuhnya letnan Reigers. Namun pertempuran paling brutal belum benar
terjadi. Pada serangan pasukan VOC kedua di bulan yang sama, penyergapan
mendadak yang dilakukan para pejuang Bayu bersamaan dengan deras hujan
menyebabkan pasukan VOC yang dikomandani Vaandrig Schaar menderita kekalahan
parah. Para pemberontak dengan bersenjatakan bambu runcing dan tombak yang
menyerbu mendadak dan bersamaan ke arah pasukan VOC membuat kalang kabut para
seradadu yang harus melindungi senjatanya dari air hujan. 100 orang pasukan
Madura gugur pada pertempuran itu, Vaandrig Schaar dan Cornet Tinne terbunuh.
Menurut Wikkerman (kelak menjadi resident Banyuwangi) yang selamat dari
pertempuran itu, tubuh Vaandrig Schaar diseret menuju markas pemberontak.
Sesampai di markas, perut Vaandrig Schaar diburai dan diganyang isinya.
Sementara kepalanya dipancang di ujung tombak dan dikelilingkan menjaya-jaya.
Setelah
Puputan Bayu, wilayah Blambangan (Banyuwangi) menjadi lengang. Disamping amuk
kematian yang disebabkan oleh serangan VOC, juga kelaparan, wabah penyakit, dan
migrasi besar-besaran orang Blambangan ke luar daerah merupakan faktor
berkurangnya jumlah penduduk Blambangan. Akhir tahun 1772 penduduk Blambangan
tinggal 3.000 jiwa atau 8,3% dari jumlah penduduk yang ada sebelum pendudukan
Belanda. (S. Margana, The “Puputan Bayu”: War, Disease, and Demographic
Catastrophe in Blambangan, 1771 – 1773, paper Tanap workshop 2003, Xiamen).
Sesungguhnya
berakhirnya perang Bayu yang kemudia disusul dengan jatuhnya pemerintahan
Blambangan ke tangan VOC secara “mutlak” tak berarti perlawanan wong-wong
Blambangan usai. Perlawanan terhadap VOC masih terus berlangsung secara
sporadis dan terpecah-pecah. Bahkan para petanipun melakukan pembangkangan
masal sehingga lahan-lahan persawahan terbengkalai. Jumlah penduduk yang
menurun drastis dan ketaksudian rakyat Blambangan untuk bekerja sama, membuat
VOC sangat kekurangan tenaga kerja untuk menggarap wilayah Blambangan menjadi
daerah produktif. Persoalan kurangnya tenaga kerja ini memaksa pemerintahan VOC
untuk mendatangkan orang-orang Jawa (mataraman) dan Madura ke Blambangan.
Terlebih VOC harus membangun ibu kota baru di Banyuwangi. Namun, gelombang
pertama kedatangan tenaga kerja dari wilayah mataraman dan Madura mendapat
gangguan dari rakyat Blambangan sehingga mereka terpaksa harus kembali ke
daerah asal. Sulitnya VOC mendatangkan tenaga kerja dari wilayah lain karena
gangguan rakyat Blambangan tersebut membuat VOC harus merayu para calon tenaga
kerja “migran” dengan iming-iming imbalan uang.
Dampak
dari
Peperangan
Raffles,
dalam History of Java yang terkenal, menyatakan bahwa Banyuwangi yang pada tahun
1750 dihuni lebih dari 80.000 jiwa, pada tahun 1881 diketahui berkurang sampai
hanya tersisa 8.000 jiwa. Meski pernyataan Raffles di atas banyak mendapatkan
tentangan dikemudian hari. De Jong menyatakan pernyataan Raffles tersebut
hanyalah berdasarkan cerita dari mulut ke mulut. Sedangkan I Made Sudjana,
dalam Nagari Tawon Madu, menyatakan perkiraan Raffles tersebut terlalu
subjektif dan meletakan semua kesalahan terhadap VOC. Berkurangnya penduduk
Banyuwangi bukan hanya disebabkan oleh senjata VOC, namun pembakaran
gudang-gudang makanan dan pemusnahan tanaman-tanaman pangan yang dilakukan oleh
VOC untuk melumpuhkan persediaan logistik para pemberontak di Bayu, telah
menyebabkan kelaparan hebat dan meluasnya wabah penyakit dalam masyarakat
Banyuwangi sesudah perang Bayu.
Implikasi Terhadap Kebudayaan
Berakhirnya
perang bayu membawa dampak yang sangat besar terhadap kehidupan masyarakat.
Selain yang telah dijelaskan di atas tentang berkurangnya penduduk, juga
berimplikasi terhadap kebudayaan. Banyak kebudayaan timbul sebagai refleksi
dari adanya peperangan tersebut. Seperti perang bayu yang dijadikan sebuah
tarian, Latar belakang tarian ini adalah sebuah ceritera perjuangan seorang
wanita bernama Sayuwiwit yang berperang melawan Belanda (VOC).Sayuwiwit mengorganisir
para pemudi di zamannya dalam sebuah pasukan wanita yangdisegani kawan maupun
lawan.Pasukan wanita yang dipimpin oleh srikandi Sayuwiwit ini yang melakukan
perlawanan terhadap VOC dengan perang puputan.
Juga
ada presentasi lain dari perang tersebut, Kenangan atas keberanian dan
kepastian tragis peristiwa Bayu seolah diuapkan oleh perang Damarwulan –
Minakjinggo. Kenyataan yang pada akhirnya harus menyerah pada kerajaan khayal. Aspek-aspek
sosial yang melimpahkan inspirasi keteguhan, keberanian, sekaligus cermin
pengkhianatan dan kepengecutan dipaksa harus menelan gambaran yang melulu
hina-dina dengan riang gembira. Minakjinggo, tokoh rekaan yang buruk rupa dan
berwatak angkara tumbuh meraksasa melampau dunia panggung senidrama dan
mengeram dalam diri orang-orang Banyuwangi
Kesimpulan
Perang
Bayu adalah perang yang membawa kerugian yang sangat besar baik yang
bersifat materiil maupun imateriil.
Kerugian bukan hanya dialami oleh pihak
jagapati yang dalam hal ini merupakan pemimipin pemberontakan, namun
juga dari pihak pemerintah kolonial.
Meski
VOC dapat menguasai Blambangan, namun belum mampu menguasai masyarakat dengan
keseluruhan. Masyarakat tidak mau bekerja untuk pemerintahan kolonial, sehingga
pemerintahan kolonial kekurangan pekerja. Meski dalam tekanan dan penindasan
dari pihak kolonial, masyarakat Blambangan mampu menghasilkan kebudayaan yang
bernilai tinggi. Seperti, tari puputan bayu sebagai representasi dari perang
bayu. Cerita Damarwulan-minak jingo sebagai perwujudan dari kekecewaan
masyarakat terhadap pemimpin yang dianggap jadi penjilad kepada penguasa VOC.
Sumber Rujukan
Arifin
W, Partaningrat,1995, “Babad Blambangan”, yayasan Bentang Budaya,
Yokyakarta
sastra.um.ac.id/.../Seblang-Using-Studi-Tentang-Ritus-dan-Identitas-...
digilib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak-20186691.pdf
uap.unnes.ac.id/.../konfik_politik_dalam_babad_bay_2102406616.d...
Sri
Margana, The “Puputan Bayu”: War, Disease, and Demographic Catastrophe in
Blambangan, 1771 – 1773, paper Tanap workshop 2003, Xiamen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar