Thomas Hobbes
(1588-1679)
Thomas Hobbes lahir tanggal 5 april 1588 di
Malmesbury / Westport, inggris. Ia lahir dalam suasana malapetaka perang saudara
di Inggris abad 17 antara kubu Charles 1 dan kubu parlemen yang akhirnya di menangkan
kubu parlemen. Charles 1 akhirnya dihukum gantung, lalu berdirilah republic
yang dipimpin oleh Oliver Crom well. Pengalaman bahaya-bahaya perang itu memberinya kesan yang mendalam
dalam hidupnya bahwa anarki adalah sebuah bencana kemanusiaan yang paling
tragis dan kehidupan bermasyarakat adalah
sebuah usaha yang rapuh. Atas dasar pengalaman sejarah macam ini, Hobbes sangat
meminati masalah-masalahsocial.
Pada tahun 1603 dia kuliah di Universitas Oxford,
dan pada tahun 1607 dia berhasil meraih gelar BA (Baccalaureus Artium) di
universitas tersebut. Hobbes juga meminati karya-karya klasik , sebuah minat
yang khas di miliki pada masa renaissance. Pada tahun 1629 Dia juga sempat menerjemahkan karya-karya
Tuchydides, dan juga puisi Illiad dan Odissey karya penyair romawi, Homerus. Selain itu, dia juga sangat terpesona
dengan metode matematika, khususnya geometri, sehingga dalam filsafatnya dia cenderung
menggunakan metode ini. Dia sempat berkontak dengan Galileo dan menjadi sekretaris
dari Francis Bacon.
Hobbes di anugerahi umur panjang. Dia mencapai usia
91 tahun. Hamper seluruh hidupnya dihabiskan di dalam tugasnya di pengadilan
james 1, dan dia juga sempat dibuang karena pikiran-pikirannya. Hampir
sepanjang hidupnya dia berusaha memecahkan
masalah kodrat social manusia yang menurutnya sangat rapuh untuk kehidupan
social. Dia menulis buku yang sangat termasyhur dalam filsafat politik,
berjudul Leviathan. Dia juga menulis element of law dan sebuah proyek untuk
membahas manusia, alam, dan masyarakat. Khususnya Leviathan, Hobbes dianggap
sebagai atheis yang jahat. Dia dimusuhi semua golongan agama pada zamannya,
baik kaum Calvinis, Anglikan, maupun Katolik. Dikalangan rakyat kebanyakan
pikirannya juga dianggap Imoral dan namanya dikaitkan dengan sikap membelot.
Meskipun demikian, kehidupan pribadi Hobbes menyangkal semua itu. Dia adalah
orang yang sangat berbudi bahasa, toleran, dan mengabdikan seluruh hidupnya
demi kemajuan ilmu pengetahuan.
Kemandirian Filsafat
Hobbes dikenal sebagai salah seorang
printis kemandirian filsafat. Dia berpendapat bahwa sejak lama filsafat
disusupi banyak gagasan religious. Bahkan pada zaman Renainsans banyak filsuf
yang sulit membedakan filsafat dari teologi. Hobbes lalu menegaskan bahwa
filsafat tidak berurusan dengan ajaran-ajaran teologis. Yang menjadi objek
penelitian filsafat adalah objek-objek lahiriah yang bergerak beserta
cirri-cirinya, atau dengan kata lainobjek-objek yang dapat dialami dalam tubuh
kita. Kalau ada suatu substansi yang tak berubah-ubah yaitu Allah, dan juga
yang tak bias diraba ( malaikat, roh, dan sterusnya ), substansi-substansi
macam ini harus disingkirkan dari refleksi filosofis. Atas dasar anggapan ini
juga, astrologi bukanlah bidang filsafat. Menurut Hobbes, filsafat harus berfikir ketat dengan
membatasi diri pada masalah-masalah control atas alam. Hobbes lalu mengandaikan
bahwa ilmu pengetahuan harus menjadi kekuasaan manusia untuk menaklukkan alam
kodrat.
Berdasarkan pengandaian bahwa
filsafat harus rigorus, Hobbes hanya mengesahkan empat bidang dalam filsafat.
Yang pertama adalah geometri, yaitu refleksi atas benda-benda dalam ruang. Yang
kedua adalah fisika, yaitu refleksi atas hubungan timbale-balik benda-benda dan
gerak mereka. Yang ketiga adalah etika, yang dewasa ini kita sebut sebagai
‘Psikologi’, yaitu refleksi atas hasrat-hasrat dan perasaan-perasaan manusia
dan gerak-gerak mentalnya. Yang terakhir adalah politik, yaitu refleksi atas
institusi-institusi social. Hobbes kemudian menganggap keempat bidang ini
saling berkaitan dealam filsafat. Kehidupan politik, misalnya, dianggap
berhubungan dengan kehidupan mental yang pada gilirannya berkaitan dengan
kehidupan fisik manusia. Masyarakat dan manusia, menurutnya, bias dikembalikan
pada gerak dan materi dalam fisika.
Perintis Materialisme
Modern
Meskipun Hobbes berusaha
menghancurkan metafisika tradisional, dia secara ironis masih bermetafisika.
Hobbes mengandaikan bahwa kenyataan terakhir adalah kenyataa indrawi, yaitu
kenyataan material yang bias dialami, dan dengan pengandaian ini dia menjadi
seorang perintis materialism modern. Cara Hobbes bermetafisika lain dari cara
para filsuf Abad Pertengahan. Yang terakhir ini mulai dengan konsep Allah
sebagai penyebab pertama kenyataan, sedangkan Hobbes memandang bahwa yang
menjadi asas pertama kenyataan adalah materi dan gerak. Dengan knsep materi dan
gerak ini, Hobbes ingin mengaskan bahwa konsep-konsep spiritual tidak relevan
bagi filsafat, sebab tidak terdapat dalam pengalaman kita.
Berdasarkan asumsi ini, Hobbes lalu
berpendapat bahwa pengetahuan harus didasarkan pada pengalaman dan observasi.
Terhadap dunia alamiah, kita menarik hubungan sebab-akibat tidak secara
apriori, melainkan berdasarkan pada pengamatan kita tentang perubahan gerak
dalam materi. Jadi, Hobbes menyangkal adanya hubungan kausal sebagai kenyataan
asasi. Terhadap dunia batiniah, perasaan-perasaan kita, kita bias melakukan
observasi dalam bentuk instropeksi. Berdasarkan instropeksi dan observasi
inilah Hobbes menjabarkan pandangan materialistic tentang manusia dan masyarakat.
Teori Pengetahuan sebagai
Teori Bahasa
Dalam filsafat Hobbes, empirisme sudah
muncul sebagai teori bahasa. Hobbes berpendapat bahwa kata-kata memiliki maknanya dengan melukiskan “pikiran”. Karena dasar dari semua pikiran adalah
pengalaman, kata-kata pun harus diuji dengan pengalaman. Atas dasar itu bias dikatakan bahwa kata-kata tidak memiliki acuan pada pengalaman, maka
kata-kata tidak mengacu pada hakikat universal, melainkan pada kata-kata
particular saja. Kata-kata, menurut pandangan Hobbes ini hanya digunakan pada benda-benda
sebagai sebutan saja, kata tidak mempunyai kenyataan pada dirinya. Dengan anggapan
ini, Hobbes sejalan dengan para pemikir abad pertengahan, dan anggapan ini juga
menolak pandangan Descartes bahwa kesadaran
yang kemudian terungkap dalam kata-kata adalah kenyataan yang ada pada dirinya.
Manusia sebagai Mesin Anti
Social
Dalam
filsafat Hobbes, konsep “JIWA” kehilangan cirri metafisisnya, karena jiwa tidak lagi dipahami sebagai sebuah
kenyataan yang melampaui pengalaman, melainkan hasil dari pengindraan-pengindraan
jasmaniah. Jiwa dapat dikembalikan pada materi dan gerak.
Dalam De Homine, Hobbes melukiskan manusia sebagai sebuah mesin anti
social. Perasaan-perasaan dalam diri manusia adalah masukan-masukan dari luar melalui
pancaindranya yang menghasilkan reaksi-reaksi mendekati atau menjauhi objek. Kalau
mendekati, reaksi itu disebut nafsu, misalnya rasa nikmat, gembira, cinta, dan seterusnya.
Kalau menjauhi, reaksi itu disebut pengelakan, misalnya benci, kesedihan, rasa
takut, dan seterusnya. Kedua macam reaksi itu bersaing dalam diri manusia, dan kemenangan
dan kekalahan salah satu menghasilkan apa yang kita sebut kehendak. Dalam arti ini
pula, bagi Hobbes tak ada kebebasan memilih, sebab pilihan ditentukan oleh reaksi-reaksi
yang pada dasarnya alamiah. Pandangan ini disebut determinisme psikologis.
Berdasarkan pandangan tentang manusia
seperti itu, lalu Hobbes menyimpulkan ajaran-ajaran etisnya. Dia berpendapat bahwa
konsep “baik” bias dikenakan pada objek nafsu, sedangkan konsep “buruk” pada objek
pengelakan. Manusia, menurutnya, adalah makhluk yang pada dasarnya ingin memuaskan
kepentingannya sendiri, yaitu untuk memelihara dan mempertahankan dirinya sendiri
dengan mencari kenikmatan dan mengelak dari rasa sakit. Karena itu manusia yang
bijaksana adalah manusia yang mampu memaksimalisasi pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya
untuk kesejahteraan individualnya. Pandangan tentang hal inidisebut egoisme,
dan jika hanya mementingkan pencarian kenikmatandisebut hedonisme.
Manusia dilukiskan oleh Hobbes sebagai
makhluk yang anti social karena pemeliharaan diri itu pada gilirannya akan bertabrakan
dengan hasrat pemeliharaan yang dimiliki oleh
orang lain. Dalam persaingan itu, manusia harus saling memperebutkan sumber-sumber
yang langka, mempertahankan apa yang sudah dikuasainya, dan bahkan menundukkan
orang-orang lain. Hobbes menganggap kekuasaan
sebagai sarana untuk mewujudkan pemeliharaan diri. Karna pada dasarnya manusia mau
menguasai yang lain, yang terjadi dalam kehidupan social tidak terlepas dari masalah
perang melawan semua.
Negara sebagai
Leviathan
Berdasarkan konsepnya tentang kodrategoistis
dan anti social dari manusia itu Hobbes mengemukakan ajarannya tentang Negara
dalam Leviathan.
Kalau manusia pada dasarnya egois, maka kehidupan
masyarakat hampir sama dengan makhluk yang keji, dan buas seperti halnya
binatang. Hobbes berpendapat bahwa pemeliharaan diri menjadi kepentingan asasi
setiap individu, saling berlawanan menjadi tidak rasional karena berlawanan
dengan asasi itu. Karena itu, Hobbes membayangkan keadaan asal manusia, dimana
manusia mengadakan kontrak sosial, semacam perjanjian damai yang menjadi dasar
kehidupan sosial. Akan tetapi karena perjanjian seperti ini kebanyakan rapuh,
mereka menyerahkan kekuasaan dan hak-hak kodrati mereka semua kepada lembaga
yang disebut negara. Hobbes mengatakan perjanjian tanpa pedang adalah omongan
saja, dan tidak ada kekuatan yang mengamankan manusia. Karena itu manusia membutuhkan
negara yang memonopoli penggunaan kekerasan. Negara ini hanya memiliki hak atas
rakyat untuk memaksakan norma-norma dan ketertibannya, dan tidak memiliki
kewajiban, maka negara bersifat absolut. Dengan istilah leviathan dilukiskan
bahwa negara seperti monster raksasa purbakala yang hidup di lautan.
Pandangan
Hobbes tentang agama
Sedangkan tentang
agama, Hobbes berpendapat bahwa agama
turut berperan sebagai sarana kontrol sosial yang juga mencakup tipu muslihat
dan angan-angan yang menyesatkan dalam rupa rangsangan terhadap rasa takut atau
takhayul . agama bersumber dari rasa takut manusia, maka bisa berfungsi
memperbesar rasa takut itu untuk menciptakan ketertiban. Dengan fungsi ini,
agama harus ortodoks, dan menurut Hobbes mengajarkan sebuah bidaah adalah
sebuah kejahatan, sebab akan memunculkan anarki.
Absolutisme
negara
Ajaran sosial
Hobbes tantang absolutisme negara dan
peran instrumental agama ini mendukung monarkisme. Hobbes mendukung bahwa raja
harus memiliki kekuasaan mutlak atas rakyatnya.
Baginya, demokrasi itu lemah, keropos, dan hanya bisa dilakukan di
negara-negara kecil. Dalam negara yang besar pemerintahan haruslah absolut agar
tidak terjadi kekacauan dan ketidakstabilan politis. Raja haruslah seorang yang
kuat dan memaksakan kehendak-kehendaknya secara efektif. Dewasa ini, secara
sia-sia orang mengecam teori absolutisme
Hobbes itu. Banyak negara menggembar-gemborkan demokrasi dan menolak
absolutisme, tetapai dalam praktik diam-diam atau secara kasar malah mewujudkan
teori Hobbes itu di berbagai bidang kehidupan sosial.
sumber
tokoh pemikiran dari aristoteles sampai machiaveeli
tulisannya cukup bagus
BalasHapusnamun perlu penambahan refrensi lagi