Rabu, 15 Februari 2012

tokoh filsafat eropa


 
Thomas Hobbes (1588-1679)
Thomas Hobbes lahir tanggal 5 april 1588 di Malmesbury / Westport, inggris. Ia lahir dalam suasana malapetaka perang saudara di Inggris abad 17 antara kubu Charles 1 dan kubu parlemen yang akhirnya di menangkan kubu parlemen. Charles 1 akhirnya dihukum gantung, lalu berdirilah republic yang dipimpin oleh Oliver Crom well. Pengalaman bahaya-bahaya perang itu memberinya  kesan  yang  mendalam dalam hidupnya bahwa anarki adalah sebuah bencana kemanusiaan  yang  paling  tragis dan kehidupan bermasyarakat adalah sebuah usaha yang rapuh. Atas dasar pengalaman sejarah macam ini, Hobbes sangat meminati masalah-masalahsocial.
Pada tahun 1603 dia kuliah di Universitas Oxford, dan pada tahun 1607 dia berhasil meraih gelar BA (Baccalaureus Artium) di universitas tersebut. Hobbes juga meminati karya-karya klasik , sebuah minat yang khas di miliki pada masa renaissance. Pada tahun  1629 Dia juga sempat menerjemahkan karya-karya Tuchydides, dan juga puisi Illiad dan Odissey karya penyair romawi,  Homerus. Selain itu, dia juga sangat terpesona dengan metode matematika, khususnya geometri, sehingga dalam filsafatnya dia cenderung menggunakan metode ini. Dia sempat berkontak dengan Galileo dan menjadi sekretaris dari Francis Bacon.
Hobbes di anugerahi umur panjang. Dia mencapai usia 91 tahun. Hamper seluruh hidupnya dihabiskan di dalam tugasnya di pengadilan james 1, dan dia juga sempat dibuang karena pikiran-pikirannya. Hampir sepanjang  hidupnya dia berusaha memecahkan masalah kodrat social manusia yang menurutnya sangat rapuh untuk kehidupan social. Dia menulis buku yang sangat termasyhur dalam filsafat politik, berjudul Leviathan. Dia juga menulis element of law dan sebuah proyek untuk membahas manusia, alam, dan masyarakat. Khususnya Leviathan, Hobbes dianggap sebagai atheis yang jahat. Dia dimusuhi semua golongan agama pada zamannya, baik kaum Calvinis, Anglikan, maupun Katolik. Dikalangan rakyat kebanyakan pikirannya juga dianggap Imoral dan namanya dikaitkan dengan sikap membelot. Meskipun demikian, kehidupan pribadi Hobbes menyangkal semua itu. Dia adalah orang yang sangat berbudi bahasa, toleran, dan mengabdikan seluruh hidupnya demi kemajuan ilmu pengetahuan.
Kemandirian Filsafat
Hobbes dikenal sebagai salah seorang printis kemandirian filsafat. Dia berpendapat bahwa sejak lama filsafat disusupi banyak gagasan religious. Bahkan pada zaman Renainsans banyak filsuf yang sulit membedakan filsafat dari teologi. Hobbes lalu menegaskan bahwa filsafat tidak berurusan dengan ajaran-ajaran teologis. Yang menjadi objek penelitian filsafat adalah objek-objek lahiriah yang bergerak beserta cirri-cirinya, atau dengan kata lainobjek-objek yang dapat dialami dalam tubuh kita. Kalau ada suatu substansi yang tak berubah-ubah yaitu Allah, dan juga yang tak bias diraba ( malaikat, roh, dan sterusnya ), substansi-substansi macam ini harus disingkirkan dari refleksi filosofis. Atas dasar anggapan ini juga, astrologi bukanlah bidang filsafat. Menurut Hobbes,  filsafat harus berfikir ketat dengan membatasi diri pada masalah-masalah control atas alam. Hobbes lalu mengandaikan bahwa ilmu pengetahuan harus menjadi kekuasaan manusia untuk menaklukkan alam kodrat.
Berdasarkan pengandaian bahwa filsafat harus rigorus, Hobbes hanya mengesahkan empat bidang dalam filsafat. Yang pertama adalah geometri, yaitu refleksi atas benda-benda dalam ruang. Yang kedua adalah fisika, yaitu refleksi atas hubungan timbale-balik benda-benda dan gerak mereka. Yang ketiga adalah etika, yang dewasa ini kita sebut sebagai ‘Psikologi’, yaitu refleksi atas hasrat-hasrat dan perasaan-perasaan manusia dan gerak-gerak mentalnya. Yang terakhir adalah politik, yaitu refleksi atas institusi-institusi social. Hobbes kemudian menganggap keempat bidang ini saling berkaitan dealam filsafat. Kehidupan politik, misalnya, dianggap berhubungan dengan kehidupan mental yang pada gilirannya berkaitan dengan kehidupan fisik manusia. Masyarakat dan manusia, menurutnya, bias dikembalikan pada gerak dan materi dalam fisika.

Perintis Materialisme Modern

Meskipun Hobbes berusaha menghancurkan metafisika tradisional, dia secara ironis masih bermetafisika. Hobbes mengandaikan bahwa kenyataan terakhir adalah kenyataa indrawi, yaitu kenyataan material yang bias dialami, dan dengan pengandaian ini dia menjadi seorang perintis materialism modern. Cara Hobbes bermetafisika lain dari cara para filsuf Abad Pertengahan. Yang terakhir ini mulai dengan konsep Allah sebagai penyebab pertama kenyataan, sedangkan Hobbes memandang bahwa yang menjadi asas pertama kenyataan adalah materi dan gerak. Dengan knsep materi dan gerak ini, Hobbes ingin mengaskan bahwa konsep-konsep spiritual tidak relevan bagi filsafat, sebab tidak terdapat dalam pengalaman kita.
Berdasarkan asumsi ini, Hobbes lalu berpendapat bahwa pengetahuan harus didasarkan pada pengalaman dan observasi. Terhadap dunia alamiah, kita menarik hubungan sebab-akibat tidak secara apriori, melainkan berdasarkan pada pengamatan kita tentang perubahan gerak dalam materi. Jadi, Hobbes menyangkal adanya hubungan kausal sebagai kenyataan asasi. Terhadap dunia batiniah, perasaan-perasaan kita, kita bias melakukan observasi dalam bentuk instropeksi. Berdasarkan instropeksi dan observasi inilah Hobbes menjabarkan pandangan materialistic tentang manusia dan masyarakat.

Teori Pengetahuan sebagai Teori Bahasa

Dalam filsafat Hobbes, empirisme sudah muncul sebagai teori bahasa. Hobbes berpendapat bahwa  kata-kata  memiliki maknanya dengan melukiskan  “pikiran”. Karena dasar dari semua pikiran adalah pengalaman,  kata-kata  pun harus diuji dengan pengalaman.  Atas dasar itu bias dikatakan bahwa  kata-kata  tidak memiliki acuan pada pengalaman, maka kata-kata tidak mengacu pada hakikat universal, melainkan pada kata-kata particular saja. Kata-kata, menurut pandangan Hobbes ini hanya digunakan pada benda-benda sebagai sebutan saja, kata tidak mempunyai kenyataan pada dirinya. Dengan anggapan ini, Hobbes sejalan dengan para pemikir abad pertengahan, dan anggapan ini juga menolak pandangan Descartes bahwa kesadaran  yang kemudian terungkap dalam kata-kata adalah kenyataan yang ada pada dirinya.

Manusia sebagai Mesin Anti Social

   Dalam filsafat Hobbes, konsep “JIWA” kehilangan cirri metafisisnya,  karena jiwa tidak lagi dipahami sebagai sebuah kenyataan yang melampaui pengalaman, melainkan hasil dari pengindraan-pengindraan jasmaniah. Jiwa dapat dikembalikan pada materi dan gerak.
Dalam De Homine, Hobbes melukiskan manusia sebagai sebuah mesin anti social. Perasaan-perasaan dalam diri manusia adalah masukan-masukan dari luar melalui pancaindranya yang menghasilkan reaksi-reaksi mendekati atau menjauhi objek. Kalau mendekati, reaksi itu disebut nafsu, misalnya rasa nikmat, gembira, cinta, dan seterusnya. Kalau menjauhi, reaksi itu disebut pengelakan, misalnya benci, kesedihan, rasa takut, dan seterusnya. Kedua macam reaksi itu bersaing dalam diri manusia, dan kemenangan dan kekalahan salah satu menghasilkan apa yang kita sebut kehendak. Dalam arti ini pula, bagi Hobbes tak ada kebebasan memilih, sebab pilihan ditentukan oleh reaksi-reaksi yang pada dasarnya alamiah. Pandangan ini disebut determinisme psikologis.
Berdasarkan pandangan tentang manusia seperti itu, lalu Hobbes menyimpulkan ajaran-ajaran etisnya. Dia berpendapat bahwa konsep “baik” bias dikenakan pada objek nafsu, sedangkan konsep “buruk” pada objek pengelakan. Manusia, menurutnya, adalah makhluk yang pada dasarnya ingin memuaskan kepentingannya sendiri, yaitu untuk memelihara dan mempertahankan dirinya sendiri dengan mencari kenikmatan dan mengelak dari rasa sakit. Karena itu manusia yang bijaksana adalah manusia yang mampu memaksimalisasi pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya untuk kesejahteraan individualnya. Pandangan tentang hal inidisebut egoisme, dan jika hanya mementingkan pencarian kenikmatandisebut hedonisme.
Manusia dilukiskan oleh Hobbes sebagai makhluk yang anti social karena pemeliharaan diri itu pada gilirannya akan bertabrakan dengan hasrat pemeliharaan yang dimiliki oleh  orang lain. Dalam persaingan itu, manusia harus saling memperebutkan sumber-sumber yang langka, mempertahankan apa yang sudah dikuasainya, dan bahkan menundukkan orang-orang lain.  Hobbes menganggap kekuasaan sebagai sarana untuk mewujudkan pemeliharaan diri. Karna pada dasarnya manusia mau menguasai yang lain, yang terjadi dalam kehidupan social tidak terlepas dari masalah perang melawan semua.

Negara sebagai Leviathan

Berdasarkan konsepnya tentang kodrategoistis dan anti social dari manusia itu Hobbes mengemukakan ajarannya tentang Negara dalam Leviathan. Kalau manusia pada dasarnya egois, maka kehidupan masyarakat hampir sama dengan makhluk yang keji, dan buas seperti halnya binatang. Hobbes berpendapat bahwa pemeliharaan diri menjadi kepentingan asasi setiap individu, saling berlawanan menjadi tidak rasional karena berlawanan dengan asasi itu. Karena itu, Hobbes membayangkan keadaan asal manusia, dimana manusia mengadakan kontrak sosial, semacam perjanjian damai yang menjadi dasar kehidupan sosial. Akan tetapi karena perjanjian seperti ini kebanyakan rapuh, mereka menyerahkan kekuasaan dan hak-hak kodrati mereka semua kepada lembaga yang disebut negara. Hobbes mengatakan perjanjian tanpa pedang adalah omongan saja, dan tidak ada kekuatan yang mengamankan manusia. Karena itu manusia membutuhkan negara yang memonopoli penggunaan kekerasan. Negara ini hanya memiliki hak atas rakyat untuk memaksakan norma-norma dan ketertibannya, dan tidak memiliki kewajiban, maka negara bersifat absolut. Dengan istilah leviathan dilukiskan bahwa negara seperti monster raksasa purbakala yang hidup di lautan.

Pandangan Hobbes tentang agama

Sedangkan tentang agama, Hobbes berpendapat bahwa  agama turut berperan sebagai sarana kontrol sosial yang juga mencakup tipu muslihat dan angan-angan yang menyesatkan dalam rupa rangsangan terhadap rasa takut atau takhayul . agama bersumber dari rasa takut manusia, maka bisa berfungsi memperbesar rasa takut itu untuk menciptakan ketertiban. Dengan fungsi ini, agama harus ortodoks, dan menurut Hobbes mengajarkan sebuah bidaah adalah sebuah kejahatan, sebab akan memunculkan anarki.

Absolutisme negara

Ajaran sosial Hobbes  tantang absolutisme negara dan peran instrumental agama ini mendukung monarkisme. Hobbes mendukung bahwa raja harus memiliki kekuasaan mutlak atas rakyatnya.  Baginya, demokrasi itu lemah, keropos, dan hanya bisa dilakukan di negara-negara kecil. Dalam negara yang besar pemerintahan haruslah absolut agar tidak terjadi kekacauan dan ketidakstabilan politis. Raja haruslah seorang yang kuat dan memaksakan kehendak-kehendaknya secara efektif. Dewasa ini, secara sia-sia orang mengecam teori  absolutisme Hobbes itu. Banyak negara menggembar-gemborkan demokrasi dan menolak absolutisme, tetapai dalam praktik diam-diam atau secara kasar malah mewujudkan teori Hobbes itu di berbagai bidang kehidupan sosial.

sumber
tokoh pemikiran dari aristoteles sampai machiaveeli

1 komentar: